irasshaimase

Welcome to my blog
irasshai.....boku no blog ni otanoshii mi ni.............

Ningen no kotoba machigai koto ga aru, jibun no kotoba makenai youna...........

Minggu, 25 Maret 2012

Prospek Perkembangan Ternak Perah


BAB 1
PENDAHULUAN
Sejak abad ke-19 peternakan sapi perah telah dimulai yaitu dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking shorthorn dari Australia.  Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi-sapi Fries-Holland (FH) dari Belanda. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi Peranakan Fries-Holland (PFH) yang memiliki produksi susu relatif tinggi dibandingkan sapi jenis lainnya yang merupakan hasil perkawinan antara sapi lokal dengan Fries-Holland (FH). 
Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki karakteristik laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik diikuti dengan laju pertumbuhan yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk saat ini memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan permintaan (demand) produk pangan masyarakat. Selain itu, perkembangan masyarakat saat ini lebih ke arah yang lebih maju baik dari segi pendapatan maupun tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya nilai gizi pangan. Hal ini membuat masyarakat cenderung lebih meningkatkan konsumsi pangan yang mengandung gizi tinggi. Salah satu produk pangan yang terus mengalami peningkatan permintaan setiap tahunnya adalah susu. Peningkatan tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi susu per kapita dari tahun ke tahun, mulai dari 5,79 kg/kapita pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 6,8 kg/kapita pada tahun 2005 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2009).
Pengembangan sektor peternakan khususnya usaha ternak sapi perah di Indonesia saat ini perlu dilakukan karena kemampuan produksi susu peternak lokal saat ini baru mencapai 25 persen sampai 30 persen dari kebutuhan susu nasional (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Besarnya volume impor susu menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu sapi segar sebagai produk substitusi susu impor.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisa prospek perkembangan usaha ternak sapi perah di Indonesia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.      Produksi Susu
Susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Seekor sapi perah dewasa setelah melahirkan anak akan mampu memproduksi air susu melalui kelenjar susu, yang secara anatomis disebut ambing.  Produksi air susu ini dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi.
Berdasarkan data statistik populasi dan produksi susu sapi perah menurut Dirjen Peternakan-Departemen Pertanian (2008) menyebutkan, bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan produksi susu sapi perah. Namun, peningkatan ini tidak diikuti oleh naiknya produktivitas, hal ini dikarenakan meningkatkannya jumlah populasi sapi perah itu sendiri. Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur dua tahun akan menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi tersebut.  Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85 persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun menghasilkan susu 92 sampai 98 persen (Schmidt dan Hutjuers, 1998).

2.2.      Kebijakan Pemerintah
Salah satu kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditi susu lokal adalah upaya untuk melindungi peternak dan koperasi susu sapi perah Indonesia, pada tahun 1998 terdapat instruksi Presiden No. 4 tahun 1998 yang membuat kebijakan tentang susu impor. Kebijakan ini membahas tentang input susu terhadap pelaku  industri pengelolaan susu (IPS). Instruksi tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan tiga menteri (SKB Tiga Menteri) yaitu Menteri Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan serta Koperasi yang berisi bukti serap susu nasional. Apabila IPS membeli susu impor maka diwajibkan untuk membeli susu dari peternakan nasional. Jika IPS impor susu sebanyak dua kilogram maka wajib membeli susu dari peternak atau koperasi sebanyak satu kilogram.

2.3.      Kelembagaan Usaha  Sapi Perah
Masa keemasan koperasi susu dijumpai pada tahun 1980-an. Jumlah koperasi yang tadinya hanya 27 buah pada tahun 1979 berkembang tujuh kali lipat menjadi 198 pada tahun 1989. Meningkatnya jumlah koperasi ini tidak terlepas dengan gencarnya program pemerintah dalam pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) di wilayah pedesaan. Namun demikian, berdirinya GKSI pada tahun 1979 sangat berperan dalam mengkondisikan KUD – KUD untuk mengembangkan unit usaha persusuan, atau disebut KUD Susu. Sampai saat ini hampir 90 persen produksi susu segar dalam negeri dihasilkan oleh koperasi.
Saat mencuatnya harga susu dunia di tahun 2007, di tanah air telah lahir suatu institusi baru yang bernama Dewan Persusuan Nasional (DPN). Dideklarasikan di hadapan Menteri Pertanian DR. Ir. Anton Apriantono MSc pada tanggal 9 Agustus 2007 di Solo,  untuk memajukan agribisnis persusuan di tanah air. DPN merupakan organisasi yang berasal dari Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)  dan seharusnya Industri Pengolahan Susu (IPS) juga harus ikut sebagai komponen  penting dalam agribisnis persusuan yang juga ikut duduk di organisasi.




2.4.      Usaha Sapi Perah di Indonesia
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu.  Berkaitan dengan pengkonsentrasian usaha peternakan sapi perah tersebut, Sutardi (1981) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi perah di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu: (1) wilayah yang memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan (2) wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah.  Pada dasarnya, tipe wilayah (1) merupakan dataran rendah yang terletak di sekitar kota besar dan bersuhu panas, dan tipe wilayah (2) menggambarkan pedesaan yang terletak di dataran tinggi dan bersuhu sejuk. Beberapa kelemahan  yang timbul dari karakteristik tersebut adalah rendahnya penyediaan hijauan dan performa produksi pada tipe wilayah (1) serta minimnya penyediaan konsentrat dan rantai pemasaran susu di tipe wilayah (2).
Secara garis besar usaha ternak sapi perah terdiri atas usaha skala besar (UB) >100 ekor, usaha menengah (UM) 30-100 ekor, usaha kecil (UK) 10-30 ekor, dan usaha rakyat (UR) 1-9 ekor. UR umumnya merupakan anggota koperasi, UK banyak berkembang di Sumatera Utara, sedangkan UB dan UM berkembang di pulau Jawa. Usaha ternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (80 persen), empat sampai tujuh ekor (17 persen), dan lebih dari tujuh ekor (tiga persen). Hal itu menunjukkan bahwa sekitar 64 persen produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil, sisanya 28 dan delapan persen diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah dan usaha ternak sapi perah skala besar Erwidodo (1998) dan (Swastika et al., 2005).






BAB 3
PEMBAHASAN
3.1.      Produksi Susu
Susu sebagai salah satu hasil komoditi peternakan, adalah bahan makanan yang menjadi sumber gizi atau zat protein hewani. Kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi susu dari 6.8 liter/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 7.7 liter/kapita/tahun pada tahun 2008 (setara dengan 25 g/kapita/hari) yang merupakan angka tertinggi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2008). Pembangunan  sektor petemakan, khususnya pengembangan usaha sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein. Meskipun permintaan terhadap komoditi susu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, tetapi produksi susu nasional belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan impor susu dari luar negeri. Selain melakukan impor pemerintah juga melakukan ekspor susu dalam bentuk susu olahan.
Produksi susu yang relatif rendah serta keragaan usaha ternak sapi perah yang masih sangat kecil, mengakibatkan ketidakmampuan dalam persaingan dengan produk impor yang berdampak memperlemah daya saing usaha ternak sapi perah di Indonesia. Faktor pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri, serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor.  Faktor-faktor itu dapat digolongkan atas: (1) Faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha: seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah: seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali: seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) Faktor yang tidak dapat dikendalikan: seperti lingkungan alam.  Dengan demikian, apabila pemerintah dan pihak-pihak yang terkait mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu di atas, maka diharapkan komoditas susu segar lokal dapat berkembang sebagai komoditas substitusi susu impor.

3.2.      Kebijakan Pemerintah
            Kemampuan produksi susu peternak lokal saat ini baru bisa mencapai 25 persen sampai dengan 30 persen dari kebutuhan susu nasional menurut data Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2007. Kekurangan input mengakibatkan besarnya jumlah impor susu nasional sehingga menjadikan indonesia sebagai net importir, disamping itu menunjukkan adanya prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu segar sebagai produk substitusi impor. Perlu adanya perbaikan supaya dengan luasnya peluang pasar susu yang dihasilkan ternak perah akan merangsang perkembangan peternakan perah di tanah air.
Dengan dikeluarkannya instruksi Presiden No. 4 tahun 1998 berdasarkan SKB Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan serta Koperasi yang bertujuan untuk melindungi peternak dan koperasi susu sapi perah Indonesia. Akan tetapi seiring kemajuan jaman instruksui tersebut tidak dapat dipertahankan. Pada saat Indonesia akan memasuki era perdangan bebas (WTO/World Trade Organization) pemerintah mencabut Instruksi Presiden No. 4 tahun 1998.  Pencabutan kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan proteksi dari pemerintah terhadap para peternak nasional. Hal ini menyebabkan Industri Pengolahan Susu (IPS) dengan sangat leluasa untuk membeli susu impor dari luar negeri. Selain itu, sejak bulan November tahun 2008, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.011/2008 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan oleh Industri Pengolahan Susu untuk Tahun Anggaran 2008, dengan nilai Rp 107 miliar untuk periode November-Desember 2008.  Namun, pada 2009 pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Permenkeu (peraturan menteri keuangan) No.19/PMK.011/2009 yang menetapkan tarif impor nol persen untuk susu dan turunannya. Keputusan Menteri Keuangan tersebut akan mempengaruhi usaha sapi perah lokal yang ada di sentra-sentra sapi perah, terutama tingkat kesejahteraan dan daya saing produk susu terhadap susu impor.

3.3.      Kelembagaan Usaha  Sapi Perah
Mengingat IPS merupakan unsur yang cukup penting dalam agribisnis persusuan di tanah air maka perlu adanya hubungan yang berkesinambungan sehingga GKSI (berdiri tahun1979) dan organisasi-organisasi yang berkecimpung di dunia ternak perah mendukung sepenuhnya dalam pembentukan DPN. Ada tiga substansi sebagai landasan pembentukan DPN yaitu : pertama, bahwa  komoditas susu memiliki peran yang sangat besar untuk mencegah terjadinya  lost generation dari bangsa Indonesia. Kedua,  bahwa agribisnis persusuan mulai dari kegiatan di segmen  hulu sampai dengan kegiatan di segmen hilir memiliki peran besar dalam perekonomian  nasional. Ketiga, bahwa agribisnis persusuan   adalah sarana yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan amsyarakat termasuk di dalamnya  para peternak sapi perah. Dari dasar pertimbangan itulah yang kemudian dielaborasi dan dituangkan dalam  Preambule Peraturan Dasar  DPN dan merumuskan visi serta misi. Visi DPN yang disepakati oleh para pemangku kepentingan  adalah  terwujudnya  agribisnis persusuan  yang berkelanjutan, berdaya saing,  mandiri, dan mensejahterakan masyarakat. Sedangkan misi yang diemban DPN adalah :
Ø  Pertama,  memperjuangkan kepentingan dan perlindungan pelakun usaha agribisnis persusuan termasuk agroindustrinya dalam sistem perdagangan domestic dan global yang berkeadilan.
Ø  Kedua, meningkatkan akses pelaku  usaha agribisnis persusuan  terhadap berbagai sumber daya baik dalam pelayanan, keuangan/pendanaan, serta pemasaran.
Ø  Ketiga, mendorong peningkatan peran agribisnis persusuan terhadap perekoniomian nasional.
Ø  Keempat, mendorong terciptanya ilkim yang kondusif bagi  usaha peternakan sapi perah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usaha mereka secara efisien.
Ø  Kelima, membangun kebersamaan di antara pelaku agribisnis persusuan  untuk mewujudkan swasembada dalam pemenuhan kebutuhan susu nasional.
Dengan semakin gamblangnya kelembagaan usaha sapi perah diharapkan peternak lokal lebih giat dalam meningkatkan kuantitas produksi susu agar dapat bersaing dengan pelaku bisnis yang mempunyai modal besar khususnya penanam modal asing, pemerintah juga harus ikut andil dalam mengatur kegiatan antara peternak, industri pakan, IPS dan penanaman modal asing tersebut. Seperti pada era tahun 70-an dengan istilah gemar minum susu, akan meningkatkan animo masyarakat tentang susu. Baru-baru ini muncul usulan DPN, yakni Program Susu untuk Anak Sekolah Berbasis Susu Segar, seperti yang dilakukan di berbagai negara antara lain: Thailand, Iran, Vietnam, Korea, Jepang yang terkenal dengan White Revolution (Revolusi Putih). Program ini akan memacu peternak susu untuk semakin produktif. Dan disisi lain, kualitas SDM akan semakin meningkat. Untuk itu, gagasan kelompok (cluster) susu ini perlu ditindaklanjuti pemerintah sehingga menghasilkan grand design pengembangan sapi perah di Indonesia.

3.4.      Usaha Sapi Perah di Indonesia
            Strukur usaha peternakan perah di Indonesia  yang terdiri atas beberapa skala usaha antara lain Usaha Rakyat (UR) 1-9 ekor,  Usaha Kecil (UK) antara 10-30 ekor, Usaha Menengah (UM) antara 30-100 ekor, dan Usaha Besar (UB) jumlah kepemilikan sapi >100 ekor. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri, usahatani sapi perah dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha tani sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran.
Menurut pendapat Firman (2007), seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan agribisnis persusuan di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu tahap I (periode sebelum tahun 1980) disebut fase perkembangan sapi perah, tahap II (periode 1980-1997) disebut periode peningkatan populasi sapi perah, dan tahap III (periode 1997-sampai sekarang) disebut periode stagnasi. Stagnasi tersebut menyebabkan sampai saat ini Indonesia belum mampu untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Hal ini terjadi akibat banyaknya kendala dalam melakukan pengembangan usaha ternak sapi perah seperti keterbatasan modal, tingginya harga pakan konsentrat, keterbatasan sumber daya dan juga lahan untuk penyediaan hijauan, minimnya rantai pemasaran susu. Hal lain yang menjadi kelemahan dalam usaha ternak sapi perah adalah terbatasnya teknologi pengolahan kotoran hewan ternak saat ini yang menyebabkan polusi lingkungan di sekitar area peternakan sapi perah seperti air sungai, selokan dan sebagainya.
Menurut pendapat Sutardi (1981) menyatakan bahwa usaha peternakan sapi perah di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu: (1) wilayah yang memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dengan karakteristik yaitu dataran rendah yang terletak di sekitar kota besar dan bersuhu panas dengan kelemahan berupa rendahnya penyediaan hijauan dan performa produksi (2) wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah dengan karakteristik yaitu pedesaan yang terletak di dataran tinggi dan bersuhu sejuk dengan kelemahan minimnya penyediaan konsentrat dan rantai pemasaran susu. Oleh sebab itu agribisnis ternak perah terkonsentrasi di jawa, baik jawa barat, jawa tengah maupun jawa timur. Saat ini terdapat sekitar 120 ribu peternak atau rumah tangga peternak yang terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di daerah yang mempunyai iklim yang sesuai untuk sapi perah. Namun, sebagian besar peternak hanya memiliki sapi 2-4 ekor, yang setiap hari rata-rata memproduksi susu segar sekitar 1.900 ton senilai Rp 6,5 milyar atau Rp 2,4 triliun per tahun (Kompas, 16 Pebruari 2012).























KESIMPULAN
Produksi susu peternak lokal yang tidak mampu mencukupi demand susu nasional menyebabkan persaingan dengan produk impor, faktor daya saing tersebut ialah teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri, serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor.  Indonesia setelah masuk perdagangan bebas (WTO) tidak adanya kebijakan pemerintah yang melindungi peternak lokal sehingga peternak kalah bersaing, dimana notabene peternakan di Indonesia merupakan peternakan rakyat yang sebagian besar produknya disumbangkan dari peternakan rakyat. Kurangnya perhatian dan respons pemerintah terhadap dunia persusuan meskipun terbentuk organisasi-organisasi masyarakat seperti GKSI, APSPI, HKTI, PPSKI, Gapoktan yang kemudian membentuk DPN dengan program barunya yaitu Program Susu untuk Anak Sekolah Berbasis Susu Segar akan sulit tercapai, seperti yang dilakukan di berbagai negara antara lain: Thailand, Iran, Vietnam, Korea, Jepang yang terkenal dengan White Revolution (Revolusi Putih).
Usaha peternakan perah yang sekarang lebih dikenal sebagai usaha tani sapi perah ada 2 bentuk yaitu:
1.      Peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha tani sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor atau kurang dari 20 ekor sapi laktasi campuran.
2.      Perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10 ekor atau lebih dari 20 ekor sapi perah laktasi campuran.
Seiring dengan perkembangan agribisnis persusuan di Indonesia dari waktu ke waktu dibagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu:
Ø  Tahap I (periode sebelum tahun 1980) disebut fase perkembangan sapi perah.
Ø  Tahap II (periode 1980-1997) disebut periode peningkatan populasi sapi perah, dan.
Ø  Tahap III (periode 1997-sampai sekarang) disebut periode stagnasi.
Usaha ternak perah yang sekarang mengalami masa stagnasi menyebabkan kebutuhan susu dalam negeri belum mampu terpenuhi akibat kendala seperti keterbatasan modal, tingginya harga pakan konsentrat, keterbatasan sumber daya dan juga lahan untuk penyediaan hijauan, minimnya rantai pemasaran susu. Prospek peternakan perah masih terbuka peluang yang sangat lebar akan tetapi jika pemerintah tidak mendukung akan sangat sulit berkembang.






















DAFTAR PUSTAKA
Erwidodo. 1998. Dampak Krisis Moneter dan Reformasi Ekonomi terhadap Industri Persusuan di Indonesia. Prosiding. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Firman, Achmad. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah : Suatu Telaah Pustaka. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. Bandung
Schmidt, G. H. L. D. Van Vleck dan M. F. Hutjuers. 1998. Principles of Dairy Science. 2nd Edition. Prentice-Hall. Englewood Cliffs.
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanan. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor.
Swastika, D. K. S, et. al. 2005. dampak Krisis ekonomi terhadap Prospek Pengembangan Peternakan Sapi Perah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Yusdja, Y. Kebijakan Ekonomi Industri Agribisnis Sapi Perah di indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Vol.03 No.03 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Budayakan Komentar